Obrolan-obrolan ringan dengan
penduduk sekitar di warung ini terasa nyaman dan akrab. Kami mencoba menggali
informasi tentang aturan-aturan yang sudah biasanya diterapkan di gunung-gunung
lainnya.
Sejenak menengadah keatas, ingin
melihat puncak lawu dari bawah, tapi semuanya tertutup kabut tebal. Kami tidak
tahu apa yang sedang terjadi di atas sana.
Mendaki lewat Cemorosewu terdapat
5 pos perberhentian. Menurut cerita seorang teman yang pernah kesini , sebagian
besar jalurnya merupakan bebatuan. Hanya dari pos 5 sampai puncak Hargo Dumilah
yang berupa tanah. Iring-iringan pendaki tampak muncul dari tebalnya kabut, turun
dengan raut muka yang puas seolah baru memenangkan sayembara. Sepertinya tidak
ada badai pikirku.
Dan kini waktu menunjukkan jam
satu siang. Kami bergegas mendaki menuju
ke pos 1. Di pos satu jalan lumayan landai, sehingga tidak begitu menguras tenaga.
Hanya butuh waktu satu jam untuk tiba di pos pertama ini. Disini ada sebuah
warung makan, dari luar tampak berbagai macam gorengan di jajakan.
Berangkat ke pos 2 jalanan mulai
meliku dan terjal. Keringat mulai keluar meskipun keadaannya dingin.
Berbeda dari lainnya, menuju pos
2 merupakan jalur yang paling jauh. Kira-kira 2 kali lipat dibanding jalur pos lainnya,
atau sekitar 2 jam untuk sampai. Sepanjang jalanan ini, kita paling sering
beristirahat, ada seorang teman yang mual-mual karena baru pertama kali naik
gunung.
Pos 2 merupakan suatu areal yang cukup luas dan landai, kami
beristirahat bersama pendaki lain dari berbagai daerah. Rupanya mereka sedang
juga sedang beristirahat dan makan siang. Beberapa diantaranya sengaja
mendirikan tenda di pos ini. Saya dan beberapa teman mencoba menggapai dan
memetik satu buah yang bentuknya mirip murbay dan berwarna merah meski ternyata
rasanya asam.
Selanjutnya menuju pos 3 dan 4
yang masing-masing ditempuh satu jam perjalanan. Batu-batu besar di sisi tepi
jalan terkadang menghalangi pandangan. Tidak lupa juga disini berdiri kokoh
tebing-tebing sekitar 10
meter tingginya.
Beberapa hewan gunung mulai nampak,
diantaranya burung, entah jenis apa, berwarna coklat sebesar burung jalak,
jumlahnya pun tidak sedikit. Yang paling mengejutkan adalah munculnya seekor
kera putih. “Krusuk… semua tersontak kaget karena mengira ada dahan pohon yang
patah. Dan ternyata itu ulah seekor kera. Sayangnya kami kesulitan mengambil
gambar kera itu.
Perjalanan ke pos 4, kami mendapat 3 anggota baru yang masih duduk di bangku
sekolah menengah. Mereka berasal dari Sragen. Kami memutuskan untuk mengajak
mereka bergabung karena dua buah tenda yang kami bawa cukup besar, lagi pula
langit juga mulai berangsur-angsur gelap.
Dilanjut ke pos 5, rintik hujan
mulai jatuh. Mantel yang sudah disiapkan akhirnya berguna juga. Suara petir
bergemuruh memecah suasana yang sepi dan gelap. Pikiran negatif pun muncul saat
kilat sangat tampak jelas sejajar di depan mata. Iring-iringan pun menjadi
berjauhan satu sama lain. Hanya bisa berdoa dan berjalan pelan di tengah
guyuran hujan ditemani senter yang hanya bisa menerangi beberapa meter saja karena
kabut, mencari tempat landai untuk mendirikan tenda karena hujan makin lama
semakin menderas.
Tidak berapa lama,kami tiba di
sebuah sabana yang cukup luas sebelum pos 5, hujan mulai mereda namun angin
bertiup kencang. “Perjalanan ke puncak hanya sekitar 1 jam, kita kemah disini sambil menanti subuh”
ujar seorang teman. Kami memutuskan
membangun tenda disini meskipun agak tergenang air.
Waktu menunjukkan pukul delapan
malam. Tenda selesai dibangun, Saya segera mengeluarkan semua logistik dari
dalam tas yang sudah setengah basah. Beberapa
teman sibuk memasak mie instan dan yang lainnya menyeduh kopi. Tak terasa sudah
enam jam perjalanan dilalui. Sekarang waktunya istirahat.